Kearifan Lokal Masyarakat Baduy
DESKRIPSI BUKU | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Hingga saat ini masyarakat Baduy masih terikat pada pikukuh (adat yang kuat) yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satu pikukuh itu berbunyi lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambungkan (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh sambung). Makna pikukuh
itu antara lain tidak mengubah sesuatu, atau dapat juga berarti
menerima apa yang sudah ada tanpa menambahi atau mengurangi yang ada.
Insan Baduy yang melanggar pikukuh akan memperoleh ganjaran adat dari puun (pimpinan adat tertinggi). Pengamalan pikukuh yang taat menyebabkan masyarakat Baduy memiliki kearifan dalam mitigasi bencana.
Buku
ini merupakan abstraksi hasil penelitan lapangan dalam rangka Hibah
Riset Kompetensi DIKTI tahun 2010. Secara umum mitigasi bencana
diartikan sebagai perencanaan yang tepat untuk meminimalkan dampak
negatif terhadap manusia. Mitigasi bencana merupakan kegiatan pertama
dari tiga kegiatan utama dalam manajemen bencana, yakni kegiatan
prabencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
serta peringatan dini. Dua kegiatan lainnya adalah saat terjadi bencana,
mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan
sementara, seperti kegiatan Search and Rescue (SAR), bantuan
darurat dan pengungsian; dan pasca bencana yang mencakup kegiatan
pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Kegiatan pada tahap
prabencana selama ini banyak dilupakan, padahal kegiatan pada tahap
prabencana sangatlah penting karena mencakup baik perencanaan maupun
pelaksanaan tindakan untuk mengurangi risiko dampak dari suatu bencana
yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi. Oleh karena itu, masyarakat
harus mengetahui dan memahami serta mampu menyiasati cara hidup
berdampingan dengan bencana.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar